Asal Usul
Silungkang adalah sebuah desa di Kabupaten Sawahlunto-Sijunjung, Sumatera
Barat, Indonesia.
Desa kecil yang luasnya sekitar 4800 hektar ini penduduknya sebagian besar
bermatapencaharian dalam bidang pertanian (padi dan palawija). Dahulu, hasil
pertaniannya tidak hanya dipasarkan di daerah sekitarnya saja, tetapi juga ke
provinsi lain, malahan sampai ke Pahang (Malaysia).
Konon, ketika memasarkan hasil-hasil pertanian ke daerah Pahang (sekitar
abad ke-19), mereka tertarik pada tenun songket yang ada di sana. Oleh karena
itu, ketika pulang ke daerahnya (Silungkang), mereka membawanya.
Terdorong untuk mencari penghasilan selain dari pertanian, mereka tertarik
juga untuk membuat tenun songket sendiri. Untuk itu, mereka mulai mempelajari
proses pembuatannya mulai dari alat tenun, benang, konstruksi tenunan sampai
proses pewarnaannya. Demikian, sehingga akhirnya mereka dapat membuat kain
songket yang kemudian dikenal sebagai Songket Silungkang.
Dewasa ini pengrajin tenun Songket Silungkang tidak hanya
memproduksi satu jenis songket tertentu, seperti sarung dan atau kain saja.
Akan tetapi, sudah merambah ke produk jenis lain, seperti: gambar dinding,
taplak meja, permadani bergambar, baju wanita, sprey, baju kursi,
bantal permadani, selendang, serber, kain lap dapur, sapu tangan, bahan
kemeja (“hemd”), tussor (bahan tenun diagonal), dan taplak
meja polos.
Peralatan dan Bahan
Peralatan tenun songket Silungkang sama dengan tenun Pandai
Sikek. Peralatan itu pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua,
yakni peralatan pokok dan tambahan. Keduanya terbuat dari kayu dan bambu.
Peralatan pokok adalah seperangkat alat tenun itu sendiri yang oleh mereka
disebut sebagai “panta”. Seperangkat alat yang berukuran 2 x 1,5
meter ini terdiri atas gulungan (suatu alat yang digunakan untuk
menggulung benang dasar tenunan), sisia (suatu alat yang digunakan
untuk merentang dan memperoleh benang tenunan), pancukia (suatu alat
yang digunakan untuk membuat motif songket, dan turak (suatu alat
yang digunakan untuk memasukkan benang lain ke benang dasar). Panta
tersebut ditempatkan pada suatu tempat yang disebut pamedangan (tempat
khusus untuk menenun songket), di depannya diberi dua buah tiang yang
berfungsi sebagai penyangga kayu paso. Gunanya adalah untuk
menggulung kain yang sudah ditenun.
Sedangkan, yang dimaksud dengan peralatan tambahan adalah alat bantu yang
digunakan sebelum dan sesudah proses pembuatan songket. Alat tersebut adalah
penggulung benang yang disebut ani dan alat penggulung kain hasil
tenunan yang berbentuk kayu bulat dengan panjang sekitar 1 meter dan
berdiameter 5 cm.
Bahan dasar kain tenun songket adalah benang tenun yang disebut benang lusi
atau lungsin. Benang tersebut satuan ukurannya disebut palu.
Sedangkan, hiasannya (songketnya) menggunakan benang makao atau
benang pakan. Benang tersebut satuan ukurannya disebutpak.
Benang lusi dan makaoitu pada dasarnya berbeda, baik warna,
ukuran maupun bahan seratnya. Perbedaan inilah yang menyebabkan ragam hias
kain songket terlihat menonjol dan dapat segera terlihat karena berbeda
dengan tenun latarnya. Di Silungkang dan Pandai Sikek tenunan dasar atau
latar biasanya berwarna merah tua (merah vermillion), hijau tua,
atau biru tua.
|
|
Motif ragam hias Songket Silungkang selain
dibentuk dengan benang mas, juga dengan benang berwarna lainnya.
Oleh sebab itu, terdapat dua macam kain songket yaitu: (1) kain songket
dengan ragam hias yang dibentuk oleh benang mas; dan (2) kain
songket dengan ragam hias yang dibentuk bukan dari benang yang berwarna emas.
Kain songket yang motifnya dibuat dengan benang mas pemasarannya
relatif terbatas karena harganya mahal dan pemakaiannya hanya pada saat ada
peristiwa-peristiwa atau kegiatan-kegiatan tertentu, seperti: perkawinan, batagakgala
(penobatan penghulu), dan penyambutan tamu-tamu penting. Sedangkan, kain
songket jenis kedua yang motifnya tidak dibuat dengan benang mas
adalah untuk memenuhi pasaran yang lebih luas karena jenis ini tidak hanya
untuk busana tradisional, tetapi juga untuk bahan kemeja, selendang, taplak
meja dan hiasan dinding.
Sebagai catatan, pada masa lalu pewarnaan benang lusi dilakukan
secara tradisional. Caranya, sebelum diberi warna, benang harus dibersihkan
dari kotoran-kotoran dan unsur-unsur lain yang akan menghalangi masuknya zat
pewarna. Kemudian, benang diberi zat pemutih (soda abu). Zat itu dapat
diperoleh dengan mudah di toko-toko kimia atau apotek. Setelah itu, benang
itu dibagi menjadi beberapa bagian yang kemudian dicelup dengan warna yang
diperlukan. Proses selanjutnya adalah mencelupkan benang tersebut ke air
panas (mendidih) yang telah diberi zat pewarna tertentu (sesuai selera atau
pesanan), kemudian dijemur. Saat ini proses pewarnaan dengan cara-cara
tersebut sudah jarang dilakukan sebab penenun dapat langsung membeli
benang-warna yang telah banyak diproduksi oleh pabrik-pabrik tekstil.
Teknik Pembuatan Tenun Songket
Pembuatan tenun songket pada dasarnya dilakukan dalam dua tahap. Tahap
pertama adalah menenun kain dasar dengan konstruksi tenunan rata atau polos.
Tahap kedua adalah menenun bagian ragam hias yang merupakan bagian tambahan
dari benang pakan. Masyarakat Amerika dan Eropa menyebut cara
menenun seperti ini sebagai “inlayweavingsystem”. Pada tahap pertama
benang-benang yang akan dijadikan kain dasar dihubungkan ke paso.
Posisi benang yang membujur ini oleh masyarakat Silungkang disebut “benang
tagak”.
Setelah itu, benang-benang tersebut direnggangkan dengan alat yang disebut
palapah. Pada waktu memasukkan benang-benang yang arahnya melintang,
benang tagak direnggangkan lagi dengan palapah. Pemasukkan
benang-benang yang arahnya melintang ini menjadi relatif mudah karena masih
dibantu dengan alat yang disebut pancukia. Setelah itu,
pengrajin menggerakkan karok dengan menginjaksalah satu
tijak-panta untuk memisahkan benang sedemikian rupa, sehingga ketika
benang pakan yang digulung pada kasali yang terdapat
dalam skoci atau turak dapat dimasukkan dengan mudah, baik
dari arah kiri ke kanan (melewati seluruh bidang karok) maupun dari
kanan ke kiri (secara bergantian). Benang yang posisinya melintang itu ketika
dirapatkan dengan karok yang bersuri akan membentuk kain dasar.
Tahap kedua adalah pembuatan ragam hias dengan benang makao
(benang masatau benang yang berwarna lain). Ragam hias tenun
diciptakan dengan teknik menenun yang dikenal dengan teknik pakan tambahan
atau suplementaryweft. Caranya agak rumit karena untuk memasukkannya
ke dalam kain dasar harus melalui perhitungan yang teliti. Dalam hal ini
bagian-bagian yang menggunakan benang lusi ditentukan dengan alat
yang disebut pancukie yang terbuat dari bambu. Konon, pekerjaan ini
memakan waktu yang cukup lama karena benang makaoitu harus dihitung
satu persatu dari pinggir kanan kain hingga pinggir kiri menurut hitungan
tertentu sesuai dengan contoh motif yang akan dibuat. Setelah jalur benang makao
itu dibuat dengan pancukie, maka ruang untuk meletakkan turak
itu diperbesar dengan alat yang disebut palapah. Selanjutnya, benang
tersebut dirapatkan satu demi satu, sehingga membentuk ragam hias yang
diinginkan.
Sebenarnya lama dan tidaknya pembuatan suatu tenun songket, selain
bergantung pada jenis tenunan yang dibuat dan ukurannya, juga kehalusan dan
kerumitan motif songketnya. Semakin halus dan rumit motif songketnya, akan
semakin lama pengerjaannya. Pembuatan sarung dan atau kain misalnya, bisa
memerlukan waktu kurang lebih satu bulan. Bahkan, seringkali lebih dari satu
bulan karena setiap harinya seorang pengrajin rata-rata hanya dapat
menyelesaikan kain sepanjang 5–10 sentimeter.
Sebagai catatan, kain songket tidak boleh
dilipat, tetapi harus digulung dengan kayu bulat yang berdiameter 5 cm. Hal
ini perlu dilakukan untuk menjaga agar bentuk motifnya tetap bagus dan benang
mas-nya tidak putus, sehingga songketnya tetap dalam keadaan baik
dan rapi.
|
|
Motif Ragam Hias Tenun Songket Silungkang
Kekayaan alam Minangkabau sangat mempengaruhi terciptanya ragam hias
dengan pola-pola yang mengagumkan. Sekalipun ragam hiasnya tercipta dari alat
yang sederhana dan proses kerja yang terbatas, namun tenunannya merupakan
karya seni yang amat tinggi nilainya. Jadi, songket bukanlah hanya sekedar
kain, melainkan telah menjadi suatu bentuk seni yang diangkat dari hasil
cipta, rasa dan karsa penenunnya. Motif-motif ragam hias biasanya diberi nama
tumbuh-tumbuhan, binatang ataupun benda-benda yang ada di alam sekitar.
Beberapa nama ragam hias dari Nagari Silungkang antara lain adalah: Bungo
Malur, Pucuak Ranggo Patai, Kudo-Kudo, Pucuak Jawa, Pucuak Kelapa, Tigo
belah, Kain Balapak Gadang, Bungo Kunyik, Kaluak Paku, Bungo Ambacang,
Barantai, Sisiak dan lain-lain. Sedangkan untuk hiasan tepi kain
terdapat beberapa nama motif seperti Bungo Tanjung, Lintahu Bapatah,
Itiak Pulang Patang, Bareh Diatua, Ula Gerang dan lain-lain. Melihat
bentuk ragam hiasnya, kelihatan bahwa ragam hias songket dari Silungkang
terkesan lebih sederhana bila dibandingkan dengan ragam hias dari Pandai
Sikek. Ragam hias Pandai Sikek kelihatan lebih rumit-rumit dan bervariasi.
Selain bersifat menghias, ragam hias kain songket tersebut juga memiliki
makna. Salah satu contohnya adalah bentuk ragam hias yang tekenal yaitu “pucuak
rabuang”. Rebung dianggap sebagai tumbuhan yang sejak kecil sudah
berguna bagi masyarakat. Sewaktu rebungmasih kecil dapat digunakan
untuk bahan sayuran. Ketika telah tumbuh besar dan menjadi bambu pun masih
tetap berguna, yaitu sebagai bahan bangunan dan lain sebagainya. Orang yang
memakai motif ini tentulah diharapkan akan berguna pula bagi masyarakatnya (seperti
bambu yang sangat berguna bagi manusia).
Nilai Budaya
Tenun Songket Silungkang, jika dicermati secara seksama, di
dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai
acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai
itu antara lain: kesakralan, keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan
kesabaran.
Nilai kesakralan tercermin dari pemakaiannya yang umumnya hanya digunakan
pada peristiwa-peristiwa atau kegiatan-kegiatan yang ada kaitannya dengan
upacara, seperti perkawinan, upacara batagakgala (penobatan
penghulu) dan lain sebagainya. Nilai keindahan tercermin dari motif ragam
hiasnya yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan.
Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses
pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa
nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah tenun songket yang
bagus.
Referensi:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam Khasanah Budaya
Nusantara I. Depantemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Alat tenun
Sampai saat ini, kebanyakan para perajin masih menggunakan alat tenun
tradisional warisan leluhur mereka yang terbuat dari kayu dan bambu. Alat utama
dinamakan panta adalah sebuah konstruksi kayu biasanya berukuran 2 x 1.5 meter
tampat merentangkan banang yang akan ditenun. Benang dasar yang dinamakan
lungsin atau lusi, juga disebut tagak digulung pada gulungan dan terpasang pada
arang babi di bagian yang jauh dari panta.
Perajin yang mengerjakan tenun ini duduk pada semacam bangku di bagian
pangkal dari panta ini. Di depannya ada dua buah tiang yang menyangga kayu paso
tempat kain yang sudah ditenun akan digulung. Jadi lungsin terentang antara
gulungan dengan paso dan di antaranya terdapat satu pasang karok dan satu buah
suri tergantung pada tandayan. Di kiri dan kanan penenun digantungkan tempat
penyimpan skoci benang pakan dan skoci benang mas. Skoci ini dinamakan turak
dan terbuat dari bambu.
Pembuatan
Pertama sekali perajin akan menggerakkan karok dengan menginjak salah satu
tijak-tijak untuk memisahkan benang sedemikian rupa sehingga ketika benang
pakan yang digulung pada kasali dan dimasukkan dalam skoci atau turak dapat
dimasukkan dari kiri ke kanan melewati seluruh bidang karok, atau dari kanan ke
kiri, secara bergantian, dan akan membentuk semacam ayaman yang ketika dipukul
ke arah penenun dengan suri menjadi rapat dan membentuk kain.
Kemudian untuk membuat motif, digunakanlah benang emas. Benang emas digulung
dengan kasali dan dimasukkan dalam turak. Akan tetapi jalur masukknya tidak
dibuat dengan menggerakkan karok malainkan ditentukan dahulu dengan mancukie
bagian-bagian tertentu dari benang lungsini dengan suatu alat sederhana dari
bambu yang disebut pancukie. Tahap inilah yang sangat penting dan memakan waktu
yang sangat lama karena benang lungsin itu harus dihitung satu persatu dari
pinggik kanan kain hingga pinggir kiri menurut hitungan tertentu sesuai dengan
contoh motif yang akan dibuat. Karena kebanyakan motif tenun adalah simetris,
maka pada waktu penenun selesai membuat satu jalur makau, akan diletakkan satu
batang lidi untuk menandai jalur itu sehingga dapat dipakai kembali ketika
polanya kembali sama.
Karena begitu rumitnya, untuk menyelesaikan satu lembar kain songket
dibutuhkan minimal empat minggu. Meski ada yang dapat dikerjakan dalam dua
minggu, biasanya hasilnyapun kualitasnya kurang. Dalam pembuatan songket
biasanya para perajin menggunakan tiga tehnik penyulaman. Pertama, dengan satu
benang. Jadi satu persatu benang diurai ke kanan dan ke kiri. Tenhik ini
merupakan tehnik yang paling lama pengerjaannya. Dan hasilnyapun tentu paling
bagus. Biasanya pembuatan songket dengan mengguanakan tehnik ini membuhkan
waktu tiga sampai empat bulan. Kedua, dengan tehnik benang rangkap dua. Ketika
menggunakan tehnik ini para perajin menggunakan dua helai benang. Karena
benangnya rangkap motif yang dihasilkannyapun terlihat lebih jarang dibanding
dengan yang pertama. Ketiga, tehnik dengan menggunakan benang rangkap empat.
Tentu dengan tehnik inilah, satu kain songket dapat dihasilkan dalam waktu yang
cukup singkat. Namun, hasilnya lebih kaku dan motifnya nampak lebih jarang.
Secara garis besar pembuatan kain songket ini dilakukan melalui tiga
tahapan. Pertama, pencungkilan, artinya tahap ini merupakan tahap pembuatan
motif kain songket itu sendiri. Dengan cara menyilah-milah benang dari benang
songket, lama prosesnya tergantung dari kerumitan motif kain songket itu. Motif
songket digambarkan dengan tuntunan lidi yang dipasang ditenunan yang disebuut
sebagai “dayan”.
Kedua, proses penyambungan, artinya memisahkan benang untuk pakan songket,
dengan cara diuraikan untuk persiapan penenunan. Para perajin biasanya
menggulung dengan alat yang dinamakan “undaran benang.
Ketiga adalah penenunan, artinya proses akhir dalam pembuatan kain songket.
Sama seperti tahap pertama, lama pembuatan juga dipengaruhi oleh motif yang
digunakan. Tahap ini merupakan tahap paling lama dalam pembuatan sebuah kain
songket. Selain karena membutuhkan ketelitian dan kesabaran, juga diperlukanlah
kecermatan dalam menempatkan benang antar benang yang dimasukkan dalam tenunan
yang menggunakan undaran benang.
Pemasaran
Kain songket dapat dikatakan sebagai salah satu jenis pakaian yang mewah. Untuk
satu set kain songket dengan kualitas bagus, yang terdiri dari tumpal (kepala
kain) dan selendangnya, dijual sampai Rp 50 juta. untuk kelas songket yang
paling murah, yaitu kain super dengan benang mamilon, dan ukuran selendangnya
kecil, harga jualnya Rp 250.000 per set. Jika selendangnya berukuran tanggung,
harganya menjadi Rp 350.000 per set. Sedangkan jika selendangnya dodot maka
harganya Rp 500.000 per set. Dengan melihat betapa sulitnya membuat songket
tentu harga yang ditawarkan tersebut dapat dikatakan sesuai. Selain itu pada
umumnya untuk mendapatkan bahan-bahan seperti benang yang berkualitas, biasanya
para perajin mengimpor dari China, India, atau Thailand, jadi kalau harga
kainnya selangit itu wajar.
Biasanya oleh para perajin kain songket itu dijual distand-stand yang telah
mereka buat sendiri. Atau para pembeli juga dapat membeli kain songket itu
langsung di rumah para perajin, karena memang ini merupakan industri skala
rumahan.
Sedangkan untuk pemasaran yang lebih luas, karena songket memiliki unsur
estetika dan nilai jual yang tinggi tentu pangsa pasarnyapun terbuka lebar.
Kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Bali, Surabaya tentu merupakan daerah
pemasaran yang menjanjikan. Peluang inipun tentu menggiurkan, tak hanya bagi
para pedagang atau para distributor, para desainer terkenal Indonesiapun banyak
yang menaruh perhatian pada kain songket ini. Ini menggambarkan bahwa memang
songket telah menjadi komoditi dagang yang sangat bernilai. Bahkan sebelum
Indonesia merdeka songket merupakan salah satu barang dagangan yang diandalkan
dalam pasar dagang internasional. Terbukti dengan diikutsertakannya kain tenun
ini pada Pekan Raya Ekonomi yang dilangsungkan di Brussel, Belgia pada tahun
1910. Pada waktu itu Ande Baensah seorang perajin sekaligus penjual tenun
songket dari Silungkang ikut serta dalam Pekan Raya Ekonomi itu untuk
mendemonsatrasikan cara membuat kain tenun ini.
Selain dalam Pekan Raya ini, tercatat pula bahwa songket juga telah
diperdagangkan di Calcuta oleh seorang melayu bernama Muhammad Yassin dari
Kampung Panai Empat Rumah pada tahun 1921. Di era lima puluhan di Indonesia ada
Abidin, seorang penjaja songket dari kampung Dalimo Godang yang menggunakan
jasa paket pos untuk menjual dagangannya. Kota-kota besar seperti Padang,
Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Makasar telah menjadi daerah yang
sering dia kirimi komoditi ini. Selain itu kain songket juga sering nampak di
pasar-pasar malam yang pada waktu itu sedang menjadi trend kehidupan urban
masyarakat Indonesia masa itu. Antara lain di pasar malam gambir di Jakarta,
pasar malam Andir di Bandung, pasar malam Simpang lima di Semarang, pasar malam
Alun-alun di Yogyakarta, dan pasar malam Yand Mart di Surabaya.
Pada tahun 1974 di Bali Room Hotel Indonesia, diadakanlah pameran hasil
industri kecil yang diselenggarakan oleh Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia
(IWAPI). Salah satu barang yang mendapatkan perhatian tentu adalah sebuah kain
songket yang berumur dua ratusan tahun lebih, yang berwarna merah hati dengan
menggunakan benang Mokuo Bulek Soriang, dan bermotif pucuk rebung. Dari waktu
ke waktu nilai jual songket memang seakan tak akan habis dimakan zaman. Bahkan
kinipun para desainer juga banyak menggunakan songket sebagai salah satu prodak
andalan mereka. Misalnya Zainal Songket atau Dr. Zainal Arifin, yang telah
menggelar peragaan busana di Celebities Cafe, Palembang pada bulan April lalu.
Acara dengan tema Warna-warni ini nampak begitu berbeda dan menampilkan sosok
lain dari kain songket. Kepiawaian Zainal songket telah merubah kekakuan yang
biasanya nampak pada kain sonket menjadi sebuah kain yang elegan dan supel.
Acara yang dihadiri tokoh-tokoh penting Palembang itu diawali dengan
kemunculan lima pasangan, pria dan wanita yang mengenakan songket yang
didominasi warna merah. Lampu berpendar tatkala para peraga berjalan
memperlihatkan kain yang dipakai kepada penonton. Musik pembukan berupa lagu
pop mandarin. Usai itu, lima pasang lagi keluar, songketnya warna hijau, dengan
diiringi lagu dangdut. Para model lalu berjoget. Gerakan berjoget ria tidak
membuat para model kesulitan untuk menggerakan anggota tubuh seperti tangan dan
kaki.
Cahaya kembali temaram. Terakhir lima pasang keluar dari belakang panggung,
menampilkan aneka ragam songket dengan warna-warni. Keseluruhan rancangan
Zainal ini memadukan gemerlapnya warna-warni kain songket dengan brokat, satin
sutera, dan lace. Dengan peragaan busana ini Zaenal berharap para perajin dapat
lebih mengembangkan motif-motif songket yang saat ini masih itu-itu saja.
Selain Zainal, desainer Indonesia lainya yang menggunakan songket sebagai
bahan busana kreasinya adalah Merdi Sihombing. Merdi Sihombing mengangkat tema
busana Songket melayu Sumatra Utara, ketika ikut serta dalam Festival Busana
Nusantara 2007 di Discovery Shoping Mall, Jalan Kartika Plasa, Kuta November
lalu. Di Fashion Tendence 2008, Fenny Mustafa seorang desainer anggota Asosiasi
Perancang dan Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) mempersembahkan koleksi
busanannya yang didominasi oleh bahan-bahan dari kain songket. Pada acara itu
Fenny memilih kain songket Minangkabau serta sulam sungkit sebagai pengembangan
gaya baju kurung dalam trend busana masa kini. Yang membuat menarik dari
koleksi busana karyanya adalah karena Fenny menterjemahkan kembali kain songket
minang dalam potongan yang lebih ringan dan siap pakai. Kesederhanaan dan
kemewahan diangkat dalam kolaborasi eklektik dengan variasi warna hues, shade,
dan tint, antara warna pastel dan warna solid. Nuansa emas yang biasanya
mendominasi kain tenun songket diubah menjadi busana dengan aura lebih elegan.
Selain itu melalui busana-busana karyanya Fenny lebih menekankan keringanan
gaya wanita modern yang mengutamakan pada kenyamanan bahan untuk dikenakan dan
juga detail yang menghiasinya. Seperti halnya Zainal Songket, Fenny sepertinya
juga menginginkan agar kesan panas dan kaku pada kain songket dapat
diminimalisir agar lebih menarik.
Dari sini kita dapat sedikit menyimpulkan bahwa keberhasilan satu produk
untuk dihasilkan setidaknya memerlukan tiga hal, semangat, kekreatifan, dan
kejelian melihat keinginan pasar. Orang-orang seperti Ande Baensah, Muhammad
Yassin, Abidin, Zaenal Songket, Merdi Sihombing, dan Fenny Mustafa adalah
orang-orang yang bekerja dengan dua hal itu. Mereka memperkenalkan songket
kesana- kemari, dengan merantau, dengan peragaan busana diberbagai tempat, demi
satu tujuan yaitu barang dagangan dan karya mereka dapat dikenal dan menarik
untuk dibeli masyarakat.
Kekreatifan sangat diperlukan dalam upaya menumbuhkan minat pembeli untuk
membeli barang dagangan dan karya yang ditawarkan, melihat bahwa memang sifat
dasar manusia adalah pembosan. Jadi hal-hal baru yang menarik dan berkualitas
harus diciptakan untuk memenuhi keinginan pasar. Orang tentu tak akan mau
membeli barang yang itu-itu saja. Untung saja kain songket memiliki daya tarik
tersendiri dan unsur sejarah yang membangin, sehingga meskipun motif dan
coraknya agak monoton kain satu ini tetap begitu menarik untuk diminati
pembeli. Namun, ini juga harus dijadikan titik pijakan bahwa pada suatu hari
nanti bila motif dan bentuk busana songket tetap seperti ini tentu peminatnya
akan semakin berkurang. Zaenal Songket dan Fenny Mustafa telah mulai penjajakan
kain songket lebih jauh. Mereka orang-orang yang dengan ide-ide segarnya selalu
berupaya agar kain songket tetap menjadi komoditi yang menarik, nyaman dipakai,
esotis, dan berkualitas. Orang-orang seperti merekalah yang mampu bertahan di
dunia pasar yang begitu keras. Orang-orang yang memiliki semangat, kekreatifan,
dan mampu melihat keinginan pasar.
Tips Merawat Songket
Kain songket hendaknya sebelum disimpan digulung terlebih dahulu dengan paralon
atau karton. Tetapi sebelum digulung lebih baik dilapisi dahulu dengan kertas
minyak, kertas roti, atau kertas kopi. Dan jangan sekali-kali menggunakan
kertas koran. Kemudian kain songket yang sudah digulung hendaknya dibungkus
plastik dan letakkan di lemari dengan posisi berdiri atau miring. Sebaiknya
lemari diberi kamper, lada atau cengkeh, agar ngengat dan rayap tidak merusak
kain songket. Dan yang terakhir, kain tidak boleh di dry cleaning dan di
laundry, atau dipanaskan langsung dari sinar matahari, jadi ketika selesai dicuci,
kain songket cukup diangin-anginkan saja.
|
|