Rabu, 20 Maret 2013

KESENIAN INDONESIA

kain Tenun

Tenun merupakan salah satu sarana seni yang patut dilestarikan. Kain tenun kerap menjadi pakaian yang digunakan untuk melakukan upacara adat.
Contoh daerah yang menggunakan kain tenun sebagai pakaian adat. Antara lain, Kain tenun troso jepara , kain tenun sasak dan kain tenun bayan dari Lombok, kain tenun grinsing dari Bali dan juga masih banyak daerah lainnya.

Apakah Pengertian Tenun

Sebenarnya apakah pengertian tenun ? Tenun adalah kegiatan menenun kain dari helaian benang pakan dan benang lungsin yang sebelumnya diikat dan dicelupkan ke dalam zat pewarna alami.
Adapun beberapa teknik menenun yang dikenal oleh masyarakat Indonesia, yakni teknik tenun datar, tenun ikat dan teknik benang tambah.

Tenun di mancanegara

Di Eropa, istilah ikat dalam menenun diperkenalkan oleh Prof A.R Hein pada tahun 1880. Dalam bahasa Belanda, disebut “ikatten”. Dalam bahasa Inggris, kata “ikat” berarti hasil selesai dari kain tenun yang dibuat dengan teknik ikat dan “to ikat” untuk arti proses dari tekniknya.

Definisi Tenun ikat

Teknik ikat berarti mengikat bagian-bagian benang agar tidak terkena warna celupan sementara bagian lain dibiarkan agar terwarnai saat dicelupkan. Teknik ini akan menghasilkan perbedaaan warna yang membentuk motif kain tenun. Teknik ikat bisa diterapkan pada benang lungsi (benang vertikal pada alat tenun) maupun benang pakan (benang horizontal pada alat tenun). Bisa juga pada kedua-duanya yang disebut tenun ikat berganda atau dobel ikat.

Sejarah asal usul-Tenun Songket Silungkang

Di Sumatra Barat ada dua daerah yang dikenal sebagai penghasil tenunan songket yang bagus. Selain Pandai Sikek di Kabupaten Tanah Datar, satu lagi adalah Silungkang, Kota Sawahlunto. Tenunan Silungkang mempunyai kelebihan pada motif. Keistimewaan lain terdapat pada ragamnya. Ada songket ikat, songket batabua, penuh, benang dua, dan songket selendang lebar. Keunikan itulah yang membuat songket Silungkang diminati pembeli dari Malaysia dan Singapura.

Asal Usul
Silungkang adalah sebuah desa di Kabupaten Sawahlunto-Sijunjung, Sumatera Barat, Indonesia. Desa kecil yang luasnya sekitar 4800 hektar ini penduduknya sebagian besar bermatapencaharian dalam bidang pertanian (padi dan palawija). Dahulu, hasil pertaniannya tidak hanya dipasarkan di daerah sekitarnya saja, tetapi juga ke provinsi lain, malahan sampai ke Pahang (Malaysia).
Konon, ketika memasarkan hasil-hasil pertanian ke daerah Pahang (sekitar abad ke-19), mereka tertarik pada tenun songket yang ada di sana. Oleh karena itu, ketika pulang ke daerahnya (Silungkang), mereka membawanya.
Terdorong untuk mencari penghasilan selain dari pertanian, mereka tertarik juga untuk membuat tenun songket sendiri. Untuk itu, mereka mulai mempelajari proses pembuatannya mulai dari alat tenun, benang, konstruksi tenunan sampai proses pewarnaannya. Demikian, sehingga akhirnya mereka dapat membuat kain songket yang kemudian dikenal sebagai Songket Silungkang.
Dewasa ini pengrajin tenun Songket Silungkang tidak hanya memproduksi satu jenis songket tertentu, seperti sarung dan atau kain saja. Akan tetapi, sudah merambah ke produk jenis lain, seperti: gambar dinding, taplak meja, permadani bergambar, baju wanita, sprey, baju kursi, bantal permadani, selendang, serber, kain lap dapur, sapu tangan, bahan kemeja (“hemd”), tussor (bahan tenun diagonal), dan taplak meja polos.
Peralatan dan Bahan
Peralatan tenun songket Silungkang sama dengan tenun Pandai Sikek. Peralatan itu pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua, yakni peralatan pokok dan tambahan. Keduanya terbuat dari kayu dan bambu. Peralatan pokok adalah seperangkat alat tenun itu sendiri yang oleh mereka disebut sebagai “panta”. Seperangkat alat yang berukuran 2 x 1,5 meter ini terdiri atas gulungan (suatu alat yang digunakan untuk menggulung benang dasar tenunan), sisia (suatu alat yang digunakan untuk merentang dan memperoleh benang tenunan), pancukia (suatu alat yang digunakan untuk membuat motif songket, dan turak (suatu alat yang digunakan untuk memasukkan benang lain ke benang dasar). Panta tersebut ditempatkan pada suatu tempat yang disebut pamedangan (tempat khusus untuk menenun songket), di depannya diberi dua buah tiang yang berfungsi sebagai penyangga kayu paso. Gunanya adalah untuk menggulung kain yang sudah ditenun.
Sedangkan, yang dimaksud dengan peralatan tambahan adalah alat bantu yang digunakan sebelum dan sesudah proses pembuatan songket. Alat tersebut adalah penggulung benang yang disebut ani dan alat penggulung kain hasil tenunan yang berbentuk kayu bulat dengan panjang sekitar 1 meter dan berdiameter 5 cm.
Bahan dasar kain tenun songket adalah benang tenun yang disebut benang lusi atau lungsin. Benang tersebut satuan ukurannya disebut palu. Sedangkan, hiasannya (songketnya) menggunakan benang makao atau benang pakan. Benang tersebut satuan ukurannya disebutpak. Benang lusi dan makaoitu pada dasarnya berbeda, baik warna, ukuran maupun bahan seratnya. Perbedaan inilah yang menyebabkan ragam hias kain songket terlihat menonjol dan dapat segera terlihat karena berbeda dengan tenun latarnya. Di Silungkang dan Pandai Sikek tenunan dasar atau latar biasanya berwarna merah tua (merah vermillion), hijau tua, atau biru tua.




Motif ragam hias Songket Silungkang selain dibentuk dengan benang mas, juga dengan benang berwarna lainnya. Oleh sebab itu, terdapat dua macam kain songket yaitu: (1) kain songket dengan ragam hias yang dibentuk oleh benang mas; dan (2) kain songket dengan ragam hias yang dibentuk bukan dari benang yang berwarna emas. Kain songket yang motifnya dibuat dengan benang mas pemasarannya relatif terbatas karena harganya mahal dan pemakaiannya hanya pada saat ada peristiwa-peristiwa atau kegiatan-kegiatan tertentu, seperti: perkawinan, batagakgala (penobatan penghulu), dan penyambutan tamu-tamu penting. Sedangkan, kain songket jenis kedua yang motifnya tidak dibuat dengan benang mas adalah untuk memenuhi pasaran yang lebih luas karena jenis ini tidak hanya untuk busana tradisional, tetapi juga untuk bahan kemeja, selendang, taplak meja dan hiasan dinding.
Sebagai catatan, pada masa lalu pewarnaan benang lusi dilakukan secara tradisional. Caranya, sebelum diberi warna, benang harus dibersihkan dari kotoran-kotoran dan unsur-unsur lain yang akan menghalangi masuknya zat pewarna. Kemudian, benang diberi zat pemutih (soda abu). Zat itu dapat diperoleh dengan mudah di toko-toko kimia atau apotek. Setelah itu, benang itu dibagi menjadi beberapa bagian yang kemudian dicelup dengan warna yang diperlukan. Proses selanjutnya adalah mencelupkan benang tersebut ke air panas (mendidih) yang telah diberi zat pewarna tertentu (sesuai selera atau pesanan), kemudian dijemur. Saat ini proses pewarnaan dengan cara-cara tersebut sudah jarang dilakukan sebab penenun dapat langsung membeli benang-warna yang telah banyak diproduksi oleh pabrik-pabrik tekstil.
Teknik Pembuatan Tenun Songket
Pembuatan tenun songket pada dasarnya dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah menenun kain dasar dengan konstruksi tenunan rata atau polos. Tahap kedua adalah menenun bagian ragam hias yang merupakan bagian tambahan dari benang pakan. Masyarakat Amerika dan Eropa menyebut cara menenun seperti ini sebagai “inlayweavingsystem”. Pada tahap pertama benang-benang yang akan dijadikan kain dasar dihubungkan ke paso. Posisi benang yang membujur ini oleh masyarakat Silungkang disebut “benang tagak”.
Setelah itu, benang-benang tersebut direnggangkan dengan alat yang disebut palapah. Pada waktu memasukkan benang-benang yang arahnya melintang, benang tagak direnggangkan lagi dengan palapah. Pemasukkan benang-benang yang arahnya melintang ini menjadi relatif mudah karena masih dibantu dengan  alat yang disebut pancukia. Setelah itu, pengrajin menggerakkan karok dengan menginjaksalah satu tijak-panta untuk memisahkan benang sedemikian rupa, sehingga ketika benang pakan yang digulung pada kasali yang terdapat dalam skoci atau turak dapat dimasukkan dengan mudah, baik dari arah kiri ke kanan (melewati seluruh bidang karok) maupun dari kanan ke kiri (secara bergantian). Benang yang posisinya melintang itu ketika dirapatkan dengan karok yang bersuri akan membentuk kain dasar.
Tahap kedua adalah pembuatan ragam hias dengan benang makao (benang masatau benang yang berwarna lain). Ragam hias tenun diciptakan dengan teknik menenun yang dikenal dengan teknik pakan tambahan atau suplementaryweft. Caranya agak rumit karena untuk memasukkannya ke dalam kain dasar harus melalui perhitungan yang teliti. Dalam hal ini bagian-bagian yang menggunakan benang lusi ditentukan dengan alat yang disebut pancukie yang terbuat dari bambu. Konon, pekerjaan ini memakan waktu yang cukup lama karena benang makaoitu harus dihitung satu persatu dari pinggir kanan kain hingga pinggir kiri menurut hitungan tertentu sesuai dengan contoh motif yang akan dibuat. Setelah jalur benang makao itu dibuat dengan pancukie, maka ruang untuk meletakkan turak itu diperbesar dengan alat yang disebut palapah. Selanjutnya, benang tersebut dirapatkan satu demi satu, sehingga membentuk ragam hias yang diinginkan.
Sebenarnya lama dan tidaknya pembuatan suatu tenun songket, selain bergantung pada jenis tenunan yang dibuat dan ukurannya, juga kehalusan dan kerumitan motif songketnya. Semakin halus dan rumit motif songketnya, akan semakin lama pengerjaannya. Pembuatan sarung dan atau kain misalnya, bisa memerlukan waktu kurang lebih satu bulan. Bahkan, seringkali lebih dari satu bulan karena setiap harinya seorang pengrajin rata-rata hanya dapat menyelesaikan kain sepanjang 5–10 sentimeter.
Sebagai catatan, kain songket tidak boleh dilipat, tetapi harus digulung dengan kayu bulat yang berdiameter 5 cm. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga agar bentuk motifnya tetap bagus dan benang mas-nya tidak putus, sehingga songketnya tetap dalam keadaan baik dan rapi.


Motif Ragam Hias Tenun Songket Silungkang
Kekayaan alam Minangkabau sangat mempengaruhi terciptanya ragam hias dengan pola-pola yang mengagumkan. Sekalipun ragam hiasnya tercipta dari alat yang sederhana dan proses kerja yang terbatas, namun tenunannya merupakan karya seni yang amat tinggi nilainya. Jadi, songket bukanlah hanya sekedar kain, melainkan telah menjadi suatu bentuk seni yang diangkat dari hasil cipta, rasa dan karsa penenunnya. Motif-motif ragam hias biasanya diberi nama tumbuh-tumbuhan, binatang ataupun benda-benda yang ada di alam sekitar.
Beberapa nama ragam hias dari Nagari Silungkang antara lain adalah: Bungo Malur, Pucuak Ranggo Patai, Kudo-Kudo, Pucuak Jawa, Pucuak Kelapa, Tigo belah, Kain Balapak Gadang, Bungo Kunyik, Kaluak Paku, Bungo Ambacang, Barantai, Sisiak dan lain-lain. Sedangkan untuk hiasan tepi kain terdapat beberapa nama motif seperti Bungo Tanjung, Lintahu Bapatah, Itiak Pulang Patang, Bareh Diatua, Ula Gerang dan lain-lain. Melihat bentuk ragam hiasnya, kelihatan bahwa ragam hias songket dari Silungkang terkesan lebih sederhana bila dibandingkan dengan ragam hias dari Pandai Sikek. Ragam hias Pandai Sikek kelihatan lebih rumit-rumit dan bervariasi.
Selain bersifat menghias, ragam hias kain songket tersebut juga memiliki makna. Salah satu contohnya adalah bentuk ragam hias yang tekenal yaitu “pucuak rabuang”. Rebung dianggap sebagai tumbuhan yang sejak kecil sudah berguna bagi masyarakat. Sewaktu rebungmasih kecil dapat digunakan untuk bahan sayuran. Ketika telah tumbuh besar dan menjadi bambu pun masih tetap berguna, yaitu sebagai bahan bangunan dan lain sebagainya. Orang yang memakai motif ini tentulah diharapkan akan berguna pula bagi masyarakatnya (seperti bambu yang sangat berguna bagi manusia).
Nilai Budaya
Tenun Songket Silungkang, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: kesakralan, keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran.
Nilai kesakralan tercermin dari pemakaiannya yang umumnya hanya digunakan pada peristiwa-peristiwa atau kegiatan-kegiatan yang ada kaitannya dengan upacara, seperti perkawinan, upacara batagakgala (penobatan penghulu) dan lain sebagainya. Nilai keindahan tercermin dari motif ragam hiasnya yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah tenun songket yang bagus.
Referensi:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara I. Depantemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Alat tenun
Sampai saat ini, kebanyakan para perajin masih menggunakan alat tenun tradisional warisan leluhur mereka yang terbuat dari kayu dan bambu. Alat utama dinamakan panta adalah sebuah konstruksi kayu biasanya berukuran 2 x 1.5 meter tampat merentangkan banang yang akan ditenun. Benang dasar yang dinamakan lungsin atau lusi, juga disebut tagak digulung pada gulungan dan terpasang pada arang babi di bagian yang jauh dari panta.
Perajin yang mengerjakan tenun ini duduk pada semacam bangku di bagian pangkal dari panta ini. Di depannya ada dua buah tiang yang menyangga kayu paso tempat kain yang sudah ditenun akan digulung. Jadi lungsin terentang antara gulungan dengan paso dan di antaranya terdapat satu pasang karok dan satu buah suri tergantung pada tandayan. Di kiri dan kanan penenun digantungkan tempat penyimpan skoci benang pakan dan skoci benang mas. Skoci ini dinamakan turak dan terbuat dari bambu.
Pembuatan
Pertama sekali perajin akan menggerakkan karok dengan menginjak salah satu tijak-tijak untuk memisahkan benang sedemikian rupa sehingga ketika benang pakan yang digulung pada kasali dan dimasukkan dalam skoci atau turak dapat dimasukkan dari kiri ke kanan melewati seluruh bidang karok, atau dari kanan ke kiri, secara bergantian, dan akan membentuk semacam ayaman yang ketika dipukul ke arah penenun dengan suri menjadi rapat dan membentuk kain.
Kemudian untuk membuat motif, digunakanlah benang emas. Benang emas digulung dengan kasali dan dimasukkan dalam turak. Akan tetapi jalur masukknya tidak dibuat dengan menggerakkan karok malainkan ditentukan dahulu dengan mancukie bagian-bagian tertentu dari benang lungsini dengan suatu alat sederhana dari bambu yang disebut pancukie. Tahap inilah yang sangat penting dan memakan waktu yang sangat lama karena benang lungsin itu harus dihitung satu persatu dari pinggik kanan kain hingga pinggir kiri menurut hitungan tertentu sesuai dengan contoh motif yang akan dibuat. Karena kebanyakan motif tenun adalah simetris, maka pada waktu penenun selesai membuat satu jalur makau, akan diletakkan satu batang lidi untuk menandai jalur itu sehingga dapat dipakai kembali ketika polanya kembali sama.
Karena begitu rumitnya, untuk menyelesaikan satu lembar kain songket dibutuhkan minimal empat minggu. Meski ada yang dapat dikerjakan dalam dua minggu, biasanya hasilnyapun kualitasnya kurang. Dalam pembuatan songket biasanya para perajin menggunakan tiga tehnik penyulaman. Pertama, dengan satu benang. Jadi satu persatu benang diurai ke kanan dan ke kiri. Tenhik ini merupakan tehnik yang paling lama pengerjaannya. Dan hasilnyapun tentu paling bagus. Biasanya pembuatan songket dengan mengguanakan tehnik ini membuhkan waktu tiga sampai empat bulan. Kedua, dengan tehnik benang rangkap dua. Ketika menggunakan tehnik ini para perajin menggunakan dua helai benang. Karena benangnya rangkap motif yang dihasilkannyapun terlihat lebih jarang dibanding dengan yang pertama. Ketiga, tehnik dengan menggunakan benang rangkap empat. Tentu dengan tehnik inilah, satu kain songket dapat dihasilkan dalam waktu yang cukup singkat. Namun, hasilnya lebih kaku dan motifnya nampak lebih jarang.
Secara garis besar pembuatan kain songket ini dilakukan melalui tiga tahapan. Pertama, pencungkilan, artinya tahap ini merupakan tahap pembuatan motif kain songket itu sendiri. Dengan cara menyilah-milah benang dari benang songket, lama prosesnya tergantung dari kerumitan motif kain songket itu. Motif songket digambarkan dengan tuntunan lidi yang dipasang ditenunan yang disebuut sebagai “dayan”.
Kedua, proses penyambungan, artinya memisahkan benang untuk pakan songket, dengan cara diuraikan untuk persiapan penenunan. Para perajin biasanya menggulung dengan alat yang dinamakan “undaran benang.
Ketiga adalah penenunan, artinya proses akhir dalam pembuatan kain songket. Sama seperti tahap pertama, lama pembuatan juga dipengaruhi oleh motif yang digunakan. Tahap ini merupakan tahap paling lama dalam pembuatan sebuah kain songket. Selain karena membutuhkan ketelitian dan kesabaran, juga diperlukanlah kecermatan dalam menempatkan benang antar benang yang dimasukkan dalam tenunan yang menggunakan undaran benang.
Pemasaran
Kain songket dapat dikatakan sebagai salah satu jenis pakaian yang mewah. Untuk satu set kain songket dengan kualitas bagus, yang terdiri dari tumpal (kepala kain) dan selendangnya, dijual sampai Rp 50 juta. untuk kelas songket yang paling murah, yaitu kain super dengan benang mamilon, dan ukuran selendangnya kecil, harga jualnya Rp 250.000 per set. Jika selendangnya berukuran tanggung, harganya menjadi Rp 350.000 per set. Sedangkan jika selendangnya dodot maka harganya Rp 500.000 per set. Dengan melihat betapa sulitnya membuat songket tentu harga yang ditawarkan tersebut dapat dikatakan sesuai. Selain itu pada umumnya untuk mendapatkan bahan-bahan seperti benang yang berkualitas, biasanya para perajin mengimpor dari China, India, atau Thailand, jadi kalau harga kainnya selangit itu wajar.
Biasanya oleh para perajin kain songket itu dijual distand-stand yang telah mereka buat sendiri. Atau para pembeli juga dapat membeli kain songket itu langsung di rumah para perajin, karena memang ini merupakan industri skala rumahan.
Sedangkan untuk pemasaran yang lebih luas, karena songket memiliki unsur estetika dan nilai jual yang tinggi tentu pangsa pasarnyapun terbuka lebar. Kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Bali, Surabaya tentu merupakan daerah pemasaran yang menjanjikan. Peluang inipun tentu menggiurkan, tak hanya bagi para pedagang atau para distributor, para desainer terkenal Indonesiapun banyak yang menaruh perhatian pada kain songket ini. Ini menggambarkan bahwa memang songket telah menjadi komoditi dagang yang sangat bernilai. Bahkan sebelum Indonesia merdeka songket merupakan salah satu barang dagangan yang diandalkan dalam pasar dagang internasional. Terbukti dengan diikutsertakannya kain tenun ini pada Pekan Raya Ekonomi yang dilangsungkan di Brussel, Belgia pada tahun 1910. Pada waktu itu Ande Baensah seorang perajin sekaligus penjual tenun songket dari Silungkang ikut serta dalam Pekan Raya Ekonomi itu untuk mendemonsatrasikan cara membuat kain tenun ini.
Selain dalam Pekan Raya ini, tercatat pula bahwa songket juga telah diperdagangkan di Calcuta oleh seorang melayu bernama Muhammad Yassin dari Kampung Panai Empat Rumah pada tahun 1921. Di era lima puluhan di Indonesia ada Abidin, seorang penjaja songket dari kampung Dalimo Godang yang menggunakan jasa paket pos untuk menjual dagangannya. Kota-kota besar seperti Padang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Makasar telah menjadi daerah yang sering dia kirimi komoditi ini. Selain itu kain songket juga sering nampak di pasar-pasar malam yang pada waktu itu sedang menjadi trend kehidupan urban masyarakat Indonesia masa itu. Antara lain di pasar malam gambir di Jakarta, pasar malam Andir di Bandung, pasar malam Simpang lima di Semarang, pasar malam Alun-alun di Yogyakarta, dan pasar malam Yand Mart di Surabaya.
Pada tahun 1974 di Bali Room Hotel Indonesia, diadakanlah pameran hasil industri kecil yang diselenggarakan oleh Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI). Salah satu barang yang mendapatkan perhatian tentu adalah sebuah kain songket yang berumur dua ratusan tahun lebih, yang berwarna merah hati dengan menggunakan benang Mokuo Bulek Soriang, dan bermotif pucuk rebung. Dari waktu ke waktu nilai jual songket memang seakan tak akan habis dimakan zaman. Bahkan kinipun para desainer juga banyak menggunakan songket sebagai salah satu prodak andalan mereka. Misalnya Zainal Songket atau Dr. Zainal Arifin, yang telah menggelar peragaan busana di Celebities Cafe, Palembang pada bulan April lalu. Acara dengan tema Warna-warni ini nampak begitu berbeda dan menampilkan sosok lain dari kain songket. Kepiawaian Zainal songket telah merubah kekakuan yang biasanya nampak pada kain sonket menjadi sebuah kain yang elegan dan supel.
Acara yang dihadiri tokoh-tokoh penting Palembang itu diawali dengan kemunculan lima pasangan, pria dan wanita yang mengenakan songket yang didominasi warna merah. Lampu berpendar tatkala para peraga berjalan memperlihatkan kain yang dipakai kepada penonton. Musik pembukan berupa lagu pop mandarin. Usai itu, lima pasang lagi keluar, songketnya warna hijau, dengan diiringi lagu dangdut. Para model lalu berjoget. Gerakan berjoget ria tidak membuat para model kesulitan untuk menggerakan anggota tubuh seperti tangan dan kaki.
Cahaya kembali temaram. Terakhir lima pasang keluar dari belakang panggung, menampilkan aneka ragam songket dengan warna-warni. Keseluruhan rancangan Zainal ini memadukan gemerlapnya warna-warni kain songket dengan brokat, satin sutera, dan lace. Dengan peragaan busana ini Zaenal berharap para perajin dapat lebih mengembangkan motif-motif songket yang saat ini masih itu-itu saja.
Selain Zainal, desainer Indonesia lainya yang menggunakan songket sebagai bahan busana kreasinya adalah Merdi Sihombing. Merdi Sihombing mengangkat tema busana Songket melayu Sumatra Utara, ketika ikut serta dalam Festival Busana Nusantara 2007 di Discovery Shoping Mall, Jalan Kartika Plasa, Kuta November lalu. Di Fashion Tendence 2008, Fenny Mustafa seorang desainer anggota Asosiasi Perancang dan Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) mempersembahkan koleksi busanannya yang didominasi oleh bahan-bahan dari kain songket. Pada acara itu Fenny memilih kain songket Minangkabau serta sulam sungkit sebagai pengembangan gaya baju kurung dalam trend busana masa kini. Yang membuat menarik dari koleksi busana karyanya adalah karena Fenny menterjemahkan kembali kain songket minang dalam potongan yang lebih ringan dan siap pakai. Kesederhanaan dan kemewahan diangkat dalam kolaborasi eklektik dengan variasi warna hues, shade, dan tint, antara warna pastel dan warna solid. Nuansa emas yang biasanya mendominasi kain tenun songket diubah menjadi busana dengan aura lebih elegan. Selain itu melalui busana-busana karyanya Fenny lebih menekankan keringanan gaya wanita modern yang mengutamakan pada kenyamanan bahan untuk dikenakan dan juga detail yang menghiasinya. Seperti halnya Zainal Songket, Fenny sepertinya juga menginginkan agar kesan panas dan kaku pada kain songket dapat diminimalisir agar lebih menarik.
Dari sini kita dapat sedikit menyimpulkan bahwa keberhasilan satu produk untuk dihasilkan setidaknya memerlukan tiga hal, semangat, kekreatifan, dan kejelian melihat keinginan pasar. Orang-orang seperti Ande Baensah, Muhammad Yassin, Abidin, Zaenal Songket, Merdi Sihombing, dan Fenny Mustafa adalah orang-orang yang bekerja dengan dua hal itu. Mereka memperkenalkan songket kesana- kemari, dengan merantau, dengan peragaan busana diberbagai tempat, demi satu tujuan yaitu barang dagangan dan karya mereka dapat dikenal dan menarik untuk dibeli masyarakat.
Kekreatifan sangat diperlukan dalam upaya menumbuhkan minat pembeli untuk membeli barang dagangan dan karya yang ditawarkan, melihat bahwa memang sifat dasar manusia adalah pembosan. Jadi hal-hal baru yang menarik dan berkualitas harus diciptakan untuk memenuhi keinginan pasar. Orang tentu tak akan mau membeli barang yang itu-itu saja. Untung saja kain songket memiliki daya tarik tersendiri dan unsur sejarah yang membangin, sehingga meskipun motif dan coraknya agak monoton kain satu ini tetap begitu menarik untuk diminati pembeli. Namun, ini juga harus dijadikan titik pijakan bahwa pada suatu hari nanti bila motif dan bentuk busana songket tetap seperti ini tentu peminatnya akan semakin berkurang. Zaenal Songket dan Fenny Mustafa telah mulai penjajakan kain songket lebih jauh. Mereka orang-orang yang dengan ide-ide segarnya selalu berupaya agar kain songket tetap menjadi komoditi yang menarik, nyaman dipakai, esotis, dan berkualitas. Orang-orang seperti merekalah yang mampu bertahan di dunia pasar yang begitu keras. Orang-orang yang memiliki semangat, kekreatifan, dan mampu melihat keinginan pasar.
Tips Merawat Songket
Kain songket hendaknya sebelum disimpan digulung terlebih dahulu dengan paralon atau karton. Tetapi sebelum digulung lebih baik dilapisi dahulu dengan kertas minyak, kertas roti, atau kertas kopi. Dan jangan sekali-kali menggunakan kertas koran. Kemudian kain songket yang sudah digulung hendaknya dibungkus plastik dan letakkan di lemari dengan posisi berdiri atau miring. Sebaiknya lemari diberi kamper, lada atau cengkeh, agar ngengat dan rayap tidak merusak kain songket. Dan yang terakhir, kain tidak boleh di dry cleaning dan di laundry, atau dipanaskan langsung dari sinar matahari, jadi ketika selesai dicuci, kain songket cukup diangin-anginkan saja.

Sumber : culture.melayuonline.com, antonchandra.multiply.com
Referensi:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara I. Depantemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Diposkan oleh : Juli Windasary

Tidak ada komentar:

Posting Komentar